Minggu, 01 Mei 2011

pak saloi

Belajar Aja dari Pak Saloi

Cerita Pak Saloi cukup populer di Kabupaten Sambas, walaupun ia merupakan orang bodoh dan akan mengundang tawa bagi yang mendengarkan ceritanya, tetapi jika kita cermati cerita tersebut mengandung hikmah bahwa seseorang itu mesti cerdas dalam hidup ini, baik cerdas secara emosional maupun intelektual. Disebalik kebodohannya, Pak Saloi merupakan sosok yang jujur, bermoral dan sederhana. Cerita ini sering diceritakan sebagai pengantar tidur bagi anak-anak di Sambas pada waktu dulu.
Sekarang kegiatan mendongeng sebelum tidur ini telah mulai menghilang, kegiatan ini dipandang sebagai kegiatan yang kurang bermanfaat, disamping tidak bisanya lagi para orang tua untuk mendongeng serta tergantinya peran tersebut oleh tayangan televisi yang tidak jelas arah pendidikannya-kalau pun ada kebanyakan “hanya” mengajarkan untuk memperebutkan harta, percintaan murahan remaja, perebutan kekasih, pembunuhan, pemerkosaan, kecurangan, penipuan untuk mencapai tujuan, hantu-hantu yang gentayangan untuk membalas dendam, gosip, hedonis dan materialisme-dan permainan modern lainya. Padahal kegiatan mendongeng sebelum tidur ini amat baik digunakan sebagai sarana dalam menanamkan nilai-nilai agama (moralitas) pada seorang anak dan sebagai sarana untuk mempererat hubungan antara orang tua dengan anaknya.
Sungguh hal yang mengejutkan apa yang terjadi Korea Selatan baru-baru ini sebagaimana yang diberitakan oleh koran ini, dimana siswa sekolah dasar melakukan pemerkosaan massal terhadap adik kelasnya, ini terjadi karena mereka ingin menerapkan ilmu yang mereka peroleh dari situs-situs dan VCD porno. Di Indonesia juga telah sering kita dengar, baca dan lihat ditayangan televisi kasus pencabulan dan pelecehan seksual, baik itu yang dilakukan oleh tetangga, guru, kawan bermain, kawan sekelas dan bahkan oleh keluarga korban sendiri yang diakibatkan stimulus dari menonton film dan membaca bacaan porno.
Aneh nian negeri ini ketika ada yang ingin melindungi masyarakatnya dari pornografi dan pornoaksi malah didemo sebagai tanda penolakan terhadap Undang-Undang Anti Pornoaksi dan Pornografi (UU APP) malah oleh umat Islam sendiri. Apalagi Indonesia menduduki peringkat ke-2 di dunia setelah Rusia dalam hal pornografi, dan bahkan Indonesia bisa mengalahkan Thailand dalam perdagangan manusia untuk dijadikan pelacur di luar negeri sebagaimana yang dialami beberapa Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Sambas di Malaysia.
Begitulah Indonesia, negara subur dengan sumber daya alam yang melimpah dan berpenduduk mayoritas Muslim, yang mana “tongkat dan jala cukup menghidupimu”, demikian syair lagu grup musik Koes Plus menggambarkan mudahnya hidup di Indonesia. Namun sayang banyak rakyatnya yang miskin, berpendidikan rendah serta budaya korupsi yang merajalela dan tidak lumrah rasanya kalau hidup di Indonesia kalau tidak melakukan korupsi dan kolusi untuk menggoroti uang rakyat. Sudah demikian parahkah moral bangsa Indonesia , lalu apa yang dipelajari anak-anak Indonesia di sekolah-sekolah mereka, tidak bisakah pendidikan kita melahirkan generasi yang bukan hanya pintar dengan berjejer gelar akademik namun miskin moralitas.
Tidak bisakah lahir pemimpin yang adil dan dapat mensejahterakan rakyatnya dari rahim wanita-wanita Indonesia atau sudah sedemikian mandulkah wanita Indonesia untuk melahirkan pemimpin seperti Buya Hamka, Umar bin Khatab atau Umar bin Abdul Aziz, atau apakah ini menunjukkan bahwa ajaran Islam hanya difahami sebagai melepaskan kewajiban bersyahadat, shalat, puasa, zakat dan haji tanpa tahu esensi dari pengamalan ajaran tersebut dalam kehidupan, atau juga kita telah terlampau pintar untuk mengakal-akali Tuhan dengan pikiran yang kita bangun sendiri sesuai dengan keinginan-syahwat-kita tentang agama ini.
Kita perlu menyelamatkan bangsa ini dari kebangkrutan. Kita perlu memperbaiki pengajaran yang kita lakukan terhadap anak bangsa ini, dan ini bermula dari diri kita pribadi, keluarga, masyarakat dan Lembaga Pendidikan. Pendidikan agama-moral-perlu terintegral bukan hanya mengambil sisi luarnya tetapi juga nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Di sekolah umum misalnya selain jam pelajaran agama yang hanya 2 jam per minggu, materi yang diajarkan hanya melalui pendekatan fiqh an sich, tidak menyelami makna atau esensi mengapa kita melakukan hal tersebut.
Pola yang terbaik adalah seperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw, dimana Beliau menanamkan kesadaran dalam hati para sahabat tentang hakikat ajaran Islam, Beliau memberikan jawaban sesuai dengan karekteristik orang yang bertanya tentang sesuatu dan Beliau melaksanakan serta memberikan teladan (Uswatun Hasanah dan Qudwah) tentang apa yang diucapkannya. Inilah yang tidak kita miliki, hanya bisa menyuruh tidak bisa memberi teladan, NATO (No Action Talk Only). Rakyat disuruh hidup sederhana, penguasanya hidup mewah. Rakyat disuruh berhemat, penguasanya hidup semaunya. Subsudi untuk rakyat miskin dicabut, sedangkan penguasanya terus mendapat fasilitas negara. Rakyat dipaksa untuk memaklumi mengapa penguasanya mengeluarkan kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada mereka, walau sebenarnya tidak layak untuk disebut kebijakan.
Patut kiranya untuk kita belajar dari Pak Saloi tentang kejujuran, kesederhaan dan moralitas. Sebab secara intelektual tentu kita lebih pintar daripada Pak Saloi. Pak Saloi menjalani hidupnya dengan apa adanya, mengalir ibarat air. Walaupun bodoh ia masih mau bekerja dengan cara yang halal, sebagai bentuk tanggung jawabnya terhadap istri dan anaknya. Pak Saloi tidak mengeluh walaupun ia hidup dalam kesederhanaan. Inilah yang mesti kita ambil dari Pak Saloi, bukan kebodohannya. Jadi belajar saja dari Pak Saloi.

Melayu Ok !

Merevitalisasi Identitas Melayu Sambas

“Takkan hilang Melayu ditelan jaman,”demikian yang diungkapkan Hang Tuah Laksamana Melayu yang legendaris. Memang sampai sekarang yang namanya suku bangsa Melayu masih tetap ada yang tersebar di Bumi Nusantara, begitu juga di bumi Serambi Mekah Sambas. Secara fisik (keturunan) Melayu memang masih ada, namun secara eksistensi jati diri dan kebudayaan patut kita pertanyakan, begitu juga nilai-nilai keislaman yang selama ini melekat pada suku Melayu sehingga ada idiom yang menyatakan “Melayu identik dengan Islam”. Masyarakat Melayu sangat berpegang teguh dengan adat istiadat dan ajaran agama Islam. Dua aspek inilah yang menjadi pilar utama kehidupan masyarakat Melayu.
Dalam pengertian umum “Melayu” adalah seseorang yang berbicara serta berbudaya Melayu dan beragama Islam (One who speaks Malay habitually, practices Malay culture, and it a muslim) demikian yang diungkapkan Leonard Andaya yang dikutip Pabali Musa. Dari pengertian ini ada tiga hal yang menjadi ciri dari seseorang yang dapat dikatakan Melayu. Pertama, berbicara dengan bahasa Melayu. Kedua, hidup dengan budaya Melayu. Ketiga, beragama Islam. Selain ketiga aspek ini menurut hemat penulis seseorang dapat dikatakan Melayu, ia mestilah terlahir dari keturunan Melayu.
Orang Melayu dikenal sebagai etnik yang berketurunan baik (Duarte Bardosa), sangat sopan di seluruh Asia (Valentijn) dan jarang terlibat soal kriminal karena menjunjung tinggi hukum. Orang Melayu dikenal sangat menghormati tamunya, pemaaf, sabar, lemah lembut, dan lebih suka mnghindari konflik, bahkan untuk memberi nasihat, menyindir atau marah saja menggunakan pantun. Orang Melayu juga dikenal sangat menyukai seni, baik tari dan nyayian. Dalam seni dan sastra Melayu kita mengenal ada gurindam 12, serampang 12, pantun dan japin. Masyarakat Melayu juga dikenal sebagai bangsa yang “welcome” terhadap pendatang, begitu juga Melayu Sambas, sehingga ada pepatah yang menyatakan Kecil telapak tangan nyiru kami tadahkan. Sebab itulah di Sambas ada Kampung Bugis dan Kampung Jawa misalnya.
Kehilangan ataupun melemahnya jati diri dan budaya sebagai seorang Melayu dapat dilihat dari fenomena generasi muda di Kabupaten Sambas yang lebih mengenal tari-tari modern dari tari-tari daerah, lagu-lagu pop dan dangdut daripada lagu daerah, tidak bisa berpantun dan tulis baca Arab Melayu, belum lagi dalam pengamalan norma-norma ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari sebagai agama yang dianut oleh suku Melayu. Karena kentalnya nuansa agama Islam dalam kehidupan masyarakat Sambas inilah sehingga Sambas dikenal sebagai Serambi Mekah atau Serambi Madinah Kalimantan Barat. Sambas juga pernah dikenal sebagai “gudangnya” ulama, kita mengenal misalnya Ahmad Khatib Sambas pendiri tarekat Qadariah-Naqsabandiah dan Muhammad Basiuni Imran.
Walaupun tidak semua yang menjadi ciri utama dari seorang Melayu hilang dari generasi muda Melayu Sambas, tetapi fenomena yang terjadi di kalangan generasi muda Melayu Sambas patut untuk kita cermati dan dicarikan jalan keluarnya agar generasi muda Melayu Sambas berlaku sebagai orang Melayu bukan hanya berketurunan Melayu. Tentu saja semua pihak mesti terlibat dalam hal ini, tetapi jangan sampai kita terjebak pada eksklusifisme dan ini tentu saja bukan ciri dari seorang Melayu.
Merevitalisasi identitas Melayu Sambas mestilah dimulai dari dua hal yang paling dasar yang menjadi pilar utama masyarakat Melayu yakni agama Islam dan adat istiadat. Islam adalah agama yang universal dan paripurna dalam ajarannya. Islam mengatur akidah, akhlak, sosial, ekonomi, politik, militer, hukum, seni dan budaya. Apa yang menjadi ciri-ciri Melayu seperti yang diungkapkan diatas terdapat dalam ajaran agama Islam, bahkan Islam dapat memberikan lebih daripada itu semua jika apa yang terdapat dalam al Quran dan Sunah benar-benar diamalkan. Penanaman ajaran Islam dalam kehidupan mestilah dilakukan sejak dini, yang dimulai dari keluarga sebagai fondasi awal. Tentu saja dalam hal ini keluarga yang bahagia (Sakinah. Mawaddah dan rahmah) sangat diperlukan. Dari Keluarga bahagia yang mengamalkan ajaran Islamlah yang akan melahirkan anak-anak yang tahu akan ajaran agamanya. Selain keluarga perlu juga digalakkan pendidikan agama non formal seperti di sekolah sebagai jam tambahan. Dalam hal ini peran Taman Pendidikan al Quran (TPQ), yayasan-yayasan Islam, Organisasi-organisasi Islam dan Masjid begitu strategis. Lembaga-lembaga ini dapat berperan dengan memberikan kursus-kursus keagamaan kepada anak-anak, remaja, pemuda dan bahkan keluarga. Supaya program ini tepat guna dan sasaran, serta tidak terjadinya tumpang tindih program perlulah kiranya antar lembaga-lembaga ini selalu melakukan koordinasi. Ibarat kita hendak membangun sebuah bagunan yang indah dan megah maka fondasi awalnya amat penting agar dapat menopang bentuk bangunan diatasnya sehingga bangunan itu kokoh dan tidak roboh menghadapi perubahan cuaca atau iklim.
Setelah fondasi awal sudah kita tanamkan dengan kokoh dan sempurna, hal kedua yang perlu untuk diperhatikan dan ditumbuh kembangkan adalah adat istiadat bangsa Melayu. Bukan hanya dalam bentuk fisiknya tetapi juga nilai filosofis yang terkandung didalamnya. Disini peran pemerintah daerah Sambas sangat diperlukan untuk menggali dan mendidik masyarakatnya. Peran ini dapat dilaksanakan melalui Dinas Komunikasi, Budaya dan Pariwisata dan Dinas Pendidikan serta elemen lain sebagai penunjang. Pemerintah Daerah mestilah membuat program berkesinambungan yang dapat bekerjasama dengan Majelis Adat dan Budaya Melayu (MABM) dan Persatuan Forum Komunikasi Pemuda Melayu (PFKPM) atau lembaga ataupun pribadi yang mempunyai perhatian besar terhadap adat istiadat Melayu.
Jika kedua aspek ini telah terbangun dengan baik, bukanlah suatu khalayan jika Sambas ingin menjadi Serambi Mekah ke 2 di Indonesia setelah Aceh, begitu juga dengan program Terpikat-Terigasnya Bupati. Paling tidak akan lahir pribadi-pribadi Melayu yang benar-benar Melayu, sehingga Melayu tidak akan pernah hilang seperti yang ucapkan Laksamana Melayu Hang Tuah. Bukan seperti “Perempuan Melayu Terakhir” demikian judul film negeri jiran Malaysia yang bercerita tentang seorang pemuda yang mencari pemudi yang tahu budaya dan adat istidat Melayu bukan sekedar berketurunan Melayu. Bahkan bisa saja setragis nasib suku Indian Mohikan di Amerika Serikat yang hampir punah seperti diceritakan dalam film The Last Of Mohican.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar